K.H Hasjim Asy'ari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara
[3]. Ayahnya bernama Kyai Asy'ari, pemimpin Pondok Pesantren yang berada di sebelah selatan
Jombang. Ibunya bernama Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari memiliki garis keturunan baik dari
Sultan Pajang Jaka Tingkir juga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit,
Raja Brawijaya V (Lembupeteng). Berikut silsilah berdasarkan K.H. Hasjim Asy'ari berdasarkan garis keturanan ibu:
Pada tahun
1892, K.H. Hasjim Asy'ari pergi menimba ilmu ke
Mekah, dan berguru pada
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh
Muhammad Mahfudz at-Tarmasi,
Syekh Ahmad Amin Al-Aththar,
Syekh Ibrahim Arab,
Syekh Said Yamani,
Syekh Rahmaullah,
Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki,
Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan
Sayyid Husein Al-Habsyi.
[5].
Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar di bawah bimgingan Syaikh Mafudz dari Termas (
Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar
Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini sangat menarik minat belajar K.H. Hasjim Asy'ari sehingga sekembalinya ke
Indonesia pesantren ia sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis. Ia mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar
Sahih Bukhari, di mana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (
isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini.
[6]. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami
Tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah.
K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan
Syaikh Ahmad Katib dari
Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (
ilmu falak), matematika (
ilmu hisab), dan aljabar. Pada masa belajar pada Syaikh Ahmad Katib inilah K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari
Tafsir Al-manar karya monumental
Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.
Pada tahun
1899, sepulangnya dari
Mekah, K.H. Hasjim Asy'ari mendirikan
Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun
1926, K.H Hasjim Asy'ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (
NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Pemikiran K.H. Hasjim Asy'ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah adalah "ulama dalam bidang tafsir Al-Qur'an, sunnah Rasul, dan fiqh yang tunduk pada tradisi Rasul dan Khulafaur Rasyidin." beliau selanjutnya menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti mazhab Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali." Doktrin ini diterapkan dalam NU yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga dan penyebar faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
[8]
Muslim tradisionalis juga menggunakan istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah untuk membedakan dirinya dengan Muslim modernis, walaupun yang terakhir ini juga menerima formulasi al-Ash'ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi. Namun, tidak seperti kaum modernis, Muslim tradisionalis mengikuti salah satu empat mazhab sunni dan mengakui keabsahan sufi ortodoks sebagaimana yang diajarkan oleh Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali.
[9]
Ahl al-sunnah wa al-jama'ah dalam pandangan K.H. Hasjim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahl al-sunnah wa al-jama'ah, yaitu teologi dan fiqh. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya K.H. Hasjim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu Ahl al-sunnah wa al-jama'ah pada dasarnya lebih mengandaikan pola keberagaman bermadzhab kepada generasi Muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.
[10]
K.H. Hasjim Asy'ari banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Sekian banyak dari pemikirannya, setidaknya ada empat kitab karangannya yang mendasar dan menggambarkan pemikirannya; kitab-kitab tersebut antara lain:
- Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah).
- Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW).
- Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar).
- Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan (Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali Persaudaraan dan Tali Persahabatan)[11]
- Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab ini para pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar dia tentang NU. Di dalamnya terdapat ayat dan hadits serta pesan penting yang menjadi landasan awal pendirian jam’iyah NU. Boleh dikata, kitab ini menjadi “bacaan wajib” bagi para pegiat NU.
- Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah. Mengikuti manhaj para imam empat yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, tentunya memiliki makna khusus sehingga akhirnya mengikuti jejak pendapat imam empat tersebut dapat ditemukan jawabannya dalam kitab ini.
- Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal. Demikian juga Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat, edisi 15 Agustus 1959.
- Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Hidup ini tak akan lepas dari rintangan dan tantangan. Hanya pribadi yang tangguh serta memiliki sosok yang kukuh dalam memegang prinsiplah yang akan lulus sebagai pememang. Kitab ini berisikan 40 hadits pilihan yang seharusnya menjadi pedoman bagi warga NU.
- Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini menyajikan beberapa hal yang harus diperhatikan saat memperingati maulidur rasul.
- ^ a b Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj'ari, hal. 55 atau lihat Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy'ari, LKiS. hal. 17
- ^ ^^^Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964, Pemerintah RI menganugerahi Kyai Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
- ^ Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasjim Asy'ari, LKiS. hal. 18
- ^ Khuluq 2008, hlm. 20–21
- ^ http://www.biografiku.com/2012/10/biografi-kh-hasyim-ashari-pendiri.html
- ^ Arifin, Kepemimpinan Kiai, hal. 72; lihat juga Anam, Pertumbuhan, hal. 60.
- ^ Zamaksari, Tradisi Pesantren. hal. 95
- ^ Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama, Yogyakarta: LKiS, 2000, 46.
- ^ Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama, Yogyakarta: LKiS, 2000, 47.
- ^ Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama, Yogyakarta: LKiS, 2000, 49-50.
- ^ Misrawi, Zuhairi. Hadratussaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Kompas Media Nusantara, 2010, Hal. 17