Aceh (
bahasa Belanda:
Atchin atau Acheh,
bahasa Inggris:
Achin,
bahasa Perancis:
Achen atau Acheh,
Arab:
Asyi,
bahasa Portugis:
Achen atau Achem,
bahasa Tionghoa:
A-tsi atau Ache)
[1][2] yang sekarang dikenal sebagai provinsi
Aceh diperkirakan memiliki
substrat (lapis bawah) dari
rumpun bahasa Mon-Khmer [3] dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan
bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan
bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan
bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan
bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan
bahasa Klut sedangkan di
Simeulue menggunakan
bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya
Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan
bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari
Hikayat Aceh,
Hikayat Rajah Aceh dan
Hikayat Prang Sabi yang berasal dari
sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam
naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari
sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah
Hikayat Prang Sabi (
Aceh: Hikayat Perang Sabil) mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun
1710 yang berada di perpustakaan
Universitas Leiden di negeri
Belanda.
[4]
Rumpun bahasa Mon-Khmer:
Bahasa Brao, Bahasa Kreung, Bahasa Tampuan, Bahasa Bunong dan Bahasa Kui.
Ada yang percaya bahwa asal usul orang Aceh adalah "
suku Mantir" (atau dalam bahasa Aceh:
Mantee)
[5] yang dikaitkan dengan "Mantera" di Malaka dan orang berbahasa Mon-Khmer.
[6] Menurut sumber
sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.
[7]
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui
bahasa purba yakni;
[5][8][9]
- Kaum Lhee Reutoh (kaum/sukee tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli.
- Kaum Imeuem Peuet (kaum/sukee imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
- Kaum Tok Batee (kaum/sukee yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
- Kaum Ja Sandang (kaum/sukee penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam.
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang
[10] dan kerajaan Sui
[11] di Tiongkok pernah disebutkan sekitar tahun
506 sampai
581 Masehi terdapat
kerajaan Poli yang wilayah kekuasaannya meliputi
Aceh Besar [12][13] sedangkan dalam
Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai
Kerajaan Lamuri [14] yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama
Ilamuridesamsebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (
1292) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran)
[15][16] saat itu masih berada di bawah pengaruh kedaulatan kerajaan
Sriwijaya di bawah wangsa (dinasti)
Syailendradengan raja pertamanya
Balaputradewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun
Borobudur.
[17]
Rute perdagangan di Asia Timur-Selatan pada abad kedua belas.
Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada
Palembang sedangkan pelabuhan dan pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (
Lamuri), Takuapa (
Kedah),
Jambi dan
Lampung selanjutnya diikuti
Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil lainnya menggunakan alur sungai
Musi di mana dalam
hegemoni alur perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada dari raja
Rajendra Chola dari
Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam (
Lamuri) dan Takuapa (
Kedah) yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan dalam prasasti Tanjore
1030 di India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya dan merampas harta benda yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya Raja Sriwijaya yang bernama
Sanggrama Wijayatunggawarman dapat ditawan kemudian dilepas setelah mengaku takluk,
[18] tak lama kemudian armada
Chola kembali kenegerinya sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan atau pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu sudah merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada melakukan sebuah pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang melemah
[19] karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan.
[20] sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan yang dahulu berada di bawah kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun
1377.
kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh
Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama
Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Di mana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh. Menurut
Hikayat Raja-raja Pasai, kerajaan ini juga pernah diserang oleh tentara
siam pada zaman pemerintahan Sultan Maliku'l-Nassar, dan serangan tersebut berhasil dihalau saat Sultan Maliku'l-Mahmud tiba dan berhasil membunuh pimpinan Pasukan Siam, Talak Sejang
[21].
Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada[sunting | sunting sumber]
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh usantara berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Menurut
Hikayat Raja-raja Pasai diberitakan serangan Majapahit ke Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Ahmad Perumudal Perumal. Kemungkinan serangan oleh Majapahit terjadi tahun 1350 atau 1361 bersamaan dengan serangan ke Jambi & Palembang
[22]. Pada abad ke-14, Sriwijaya telah digantikan oleh kerajaan
Dharmasraya di Sumatra. Hal ini dikarenakan Sriwijaya telah melemah setelah serangan Kerajaan Chola dari India pada 1025, menjadikan Dharmasraya sebagai tujuan
Ekspedisi Pamalayu oleh Singasari di Pulau Sumatra pada tahun 1275 berdasarakan
Prasasti Padang Roco dan Serat
Pararaton.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari
Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama
Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun
Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka
Kesultanan Malaka yang muncul di bawah
Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis di bawah pimpinan
Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.
Laksamana
Malahayatidilukis oleh Sayed Dahlan Al-Habsy.
Pada
abad ke-16, Ratu Inggris,
Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama
Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
“ | Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam. | ” |
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja
James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran
Maurits – pendiri
dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke
Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh
Tuanku Abdul Hamid. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka dia dimakamkan dengan cara agama
Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam dia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia
Pangeran Bernhard suami mendiang
Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia
Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap
Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di
Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.meriam tersebut menurut informasi kini berada di desa Blang Balok kecamatan peureulak (sumber MAA Atim). Pada 1565, Kesultanan Turki Usmani mengirimkan ekspedisi untuk membantu Kesultanan Aceh memerang Portugis di Malaka. Ekspedisi ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan utusan Aceh dengan Sultan Turki Usmani, Sulaiman pada tahun 1564.
[23] Ekspedisi Usmani pertama dipimpin oleh Kurtoğlu Hızır Reis yang tediri dari 15 kapal dengan berbagai meriam artileri.
[24]
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya,
Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran
Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal
Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum
Ulama Wujudiyah. Padahal,
Seri Ratu Safiatudin Seri Ta jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa,
Spanyol,
Belanda,
Aceh,
Melayu,
Arab, dan
Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang
fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang
wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada tahun
1824,
Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani:
Britania menyerahkan wilayahnya di
Sumatra kepada
Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun
1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah
Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
- Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada di bawah kekuasaan Aceh.
- Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Di mana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
- Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
- Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
- Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
- Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
- Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan
perang terhadap Aceh pada
26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal
Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun, namun ekspedisi tersebut berhasil dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan
Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. dan bahkan Köhler sendiripun tewas tertembak di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal
Jan van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal
26 Januari 1874, digantikan oleh
Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai sultan Aceh di mesjid Indrapuri. Pada
13 Oktober 1880, pemerintah kolonial setelah berhasil menguasai istana, menyatakan pada dunia bahwa Aceh telah ditaklukan dan perang telah berakhir. namun pernyataan pemerintah belanda ternyata salah besar, perang Aceh terus berlanjut secara gerilya dengan semangat fisabilillah terus berkobar diseluruh Aceh. perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1942 menjelang Jepang datang.
Perang kembali
berkobar pada tahun
1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan disalah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda,
August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya
Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar
panglima perang besar dan pada
1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut NyaK Dhien, istri Teuku Umar tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun
1892 dan
1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli
Islam dari
Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para
ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (
De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
- Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
- Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
- Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
- Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
- Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Sultan Muhammad Daudsyah akhirnya terpaksa meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun
1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda (Belanda menggunakan strategi licik dengan menekan/menangkap keluarga sultan/pejuang Aceh untuk melemahkan perjuangan mereka). setelah penyerahan diri sultan, perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh dilanjutkan oleh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman setelah mendapat mandat sebagai wali nanggroe dari sultan Muhammad Daudsyah sebelum menyerahkan diri.
1904.
Strategis licik penculikan anggota keluarga Pejuang/teuntara Aceh, Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Raden, saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke
Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik licik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan
Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki, 1149 perempuan dan anak-anak.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, walaupun kondisi fisik telah sangat lemah bahkan matapun telah buta. Cut Nyak Dhien akahir dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan perjanjian rahasia dengan belanda. Cut nyak Dhien kemudian diasingkan dan meninggal/dikemumikan di
Sumedang,
Jawa Barat.
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik.
Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di
Surakarta pada tahun
1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun
1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial
Muhammadiyah pada tahun
1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di
Kutaraja (kini bernama
Banda Aceh) pada tahun
1929. Kemudian pada tahun
1939,
Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat
Volksraad (parlemen) dibentuk,
Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai residen Aceh oleh gubernur
Sumatra pertama,
Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara
Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada
12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para
uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan
uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun
1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di
Pandrah dan
Jeunieb, pada tahun
1944.
Kedudukan Aceh di dalam Republik Indonesia Serikat[sunting | sunting sumber]
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum
Hubertus Johannes van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (
Republik Indonesia Serikat).
dan Aceh tidak termasuk salah satu negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:
- Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
- Negara Indonesia Timur.
- Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
- Negara Jawa Timur
- Negara Madura
- Negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
- Negara Sumatera Selatan
- Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
- Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Aceh sebagai salah satu daerah yang oleh Soekarno dianggap status quo, kemudian dimasukkan ke dalam Republik Indonesia dengan cara meleburkankan ke dalam provinsi sumatera utara. Sehingga Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
“ | Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
- Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
- Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
- Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
- Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
- Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
- Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
| ” |
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas
Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
Hasan Di Tiro mendeklarasi Negara Aceh Sumatera[sunting | sunting sumber]
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa
Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kembali (re-proklamasi) kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:".
[25]
“ | "Kepada rakyat di seluruh dunia:
Kami, rakyat Aceh, Sumatera melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,
4 Desember 1976"
| ” |
Di samping itu telah muncul keinginan dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri yang dipelopori oleh tokoh politik seperti Tagore, cut agam, dll untuk membentuk 2 provinsi baru yang disebut dengan Provinsi Aceh Leuser Antara yang terdiri dari
Aceh Tengah,
Bener Meriah,
Gayo Lues,
Aceh Tenggara dan
Aceh Singkil, serta Provinsi Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari
Nagan Raya,
Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan,
Simeulue,
Aceh Baratdan
Aceh Jaya. Deklarasi pemekaran provinsi dilakuan secara bersama pada tanggal 4 Desember 2005 di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.
Pada
15 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia akhirnya sepakat untuk menandatangani persetujuan damai (MoU) dan sekaligus mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Kesepakatan yang memberikan hak self government kepada Aceh.
- ^ (Inggris)Suryadinata, Leo (2005). Admiral Zheng He & Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 168. ISBN 9812303294, 9789812303295.
- ^ (Indonesia)Banda Aceh (Indonesia) (1998). Kota Banda Aceh hampir 1000 tahun. Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
- ^ (Inggris)Summer Institute of Linguistics (2005). Mon-Khmer studies Vol.35. University Press of Hawaii. hlm. 40.
- ^ (Indonesia)Alfian, Ibrahim (1992). Sastra perang: sebuah pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil. Balai Pustaka. hlm. 248. ISBN 9794074225, 9789794074220.
- ^ a b (Belanda)Hurgronje, Christiaan Snouck (1893). De Atjehers. Landsdrukkerij, Batavia.
- ^ (Inggris)West, Barbara A. (2009). Facts on File library of world history, Encyclopedia of the peoples of Asia and Oceania, Vol. 2. Facts On File, University of California. hlm. 1002. ISBN 0816071098, 9780816071098.
- ^ (Indonesia)Zainuddin, H. M. (1961). Tarich Atjeh dan Nusantara. Pustaka Iskandar Muda.
- ^ (Belanda)Drewes, Gerardus Willebrordus Joannes (1958). Adat Atjèh Verhandelingen, Land- en Volkendunde Koninklijk Instituut voor Taal , land- en volkenkunde, Vol.24. Leiden: KITLV Press. hlm. 47.
- ^ (Inggris)Drewes, Gerardus Willebrordus Joannes (1979). Gerardus Willebrordus Joannes Drewes, ed. Hikajat Potjut Muhamat: An Achehnese Epic. The Hague : Martinus Nijhoff. hlm. 2–27.
- ^ (Hanzi Sederhana: 宋书; Hanzi Tradisional: 宋書; Pinyin: Sòng Shū)Song-shu an old text compiled by Xu Yuan
- ^ (Tionghoa: 北史; Pinyin: Běishǐ) Bei-shi which covers the period from A.D. 386 to 618, written by Li Yan-shou during the period A.D. 627-659
Daftar kabupaten dan kota di Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search
1 | Kabupaten Aceh Barat | Meulaboh | Ramli MS | 2.927,95 | 189.119 | 12 | -/322 |
|
|
2 | Kabupaten Aceh Barat Daya | Blangpidie | Akmal Ibrahim | 1.490,60 | 148.687 | 9 | -/152 |
|
|
3 | Kabupaten Aceh Besar | Kota Jantho | Mawardi Ali | 2.969,00 | 384.661 | 23 | -/604 |
|
|
4 | Kabupaten Aceh Jaya | Calang | Teuku Irfan Bahrum | 3.812,99 | 86.058 | 9 | -/172 |
|
|
5 | Kabupaten Aceh Selatan | Tapak Tuan | Azwir | 3.841,60 | 230.254 | 18 | -/260 |
|
|
6 | Kabupaten Aceh Singkil | Singkil | Dulmusrid | 2.185,00 | 129.963 | 11 | -/116 |
|
|
7 | Kabupaten Aceh Tamiang | Karang Baru | Mursil | 1.956,72 | 287.733 | 12 | -/213 |
|
|
8 | Kabupaten Aceh Tengah | Takengon | Shabela Abubakar | 4.318,39 | 208.407 | 14 | -/295 |
|
|
9 | Kabupaten Aceh Tenggara | Kutacane | Raidin Pinim | 4.231,43 | 221.684 | 16 | -/385 |
|
|
10 | Kabupaten Aceh Timur | Idi Rayeuk | Hasballah M. Thaib | 6.286,01 | 422.261 | 24 | -/513 |
|
|
11 | Kabupaten Aceh Utara | Lhoksukon | Muhammad Thaib | 3.236,86 | 575.895 | 27 | -/852 |
|
|
12 | Kabupaten Bener Meriah | Simpang Tiga Redelong | Syarkawi(Plt.) | 1.454,09 | 154.509 | 10 | -/232 |
|
|
13 | Kabupaten Bireuen | Bireuen | Saifannur | 1.901,20 | 432.870 | 17 | -/609 |
|
|
14 | Kabupaten Gayo Lues | Blang Kejeren | Muhammad Amru | 5.719,58 | 95.370 | 11 | -/136 |
|
|
15 | Kabupaten Nagan Raya | Suka Makmue | Muhammad Jamin Idham | 3.363,72 | 167.672 | 10 | -/222 |
|
|
16 | Kabupaten Pidie | Sigli | Roni Ahmad | 3.086,95 | 437.740 | 23 | -/730 |
|
|
17 | Kabupaten Pidie Jaya | Meureudu | Aiyub Abbas | 1.073,60 | 157.588 | 8 | -/222 |
|
|
18 | Kabupaten Simeulue | Sinabang | Erli Hasim | 2.051,48 | 89.327 | 10 | -/138 |
|
|
19 | Kota Banda Aceh | - | Aminullah Usman | 61,36 | 238.814 | 9 | -/90 |
|
|
20 | Kota Langsa | - | Usman Abdullah | 262,41 | 182.424 | 5 | -/66 |
|
|
21 | Kota Lhokseumawe | - | Suaidi Yahya | 181,06 | 190.624 | 4 | -/68 |
|
|
22 | Kota Sabang | - | Nazaruddin | 153,00 | 40.040 | 2 | -/18 |
|
|
23 | Kota Subulussalam | - | Merah Sakti Kombih | 1.391,00 | 81.187 | 5 | -/82 |
|
|
- Luas wilayah: Indonesiadata.co.id[2]
- Jumlah penduduk: BPS Indonesia, sensus 2010[3]
- ^ a b "Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (Permendagri No.137-2017) - Kementerian Dalam Negeri - Republik Indonesia". www.kemendagri.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-07-09.
- ^ Luas Kabupaten dan Kota di Aceh
- ^ Sensus Penduduk Aceh 2010